Selasa, 09 Oktober 2012


Kontribusi Teori Psikokologi Ericson dalam Lingkungan Sosial Belajar

Erikson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada delapan tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
            Dalam teori Erikson mengklasifikasikan delapan tahap perkembangan akan dilalui oleh orang di sepanjang rentang kehidupannya. Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang dihadapi oleh individu yang mengalami krisis. Menurut Erikson, masing-masing krisis tidak bersifat katastropik, tetapi merupakan titik balik dari kerawanan dan penguatan potensi. Semakin sukses seseorang mengatasi krisisnya, semakin sehat psikologi individu tersebut. Masing-masing tahap punya sisi positif dan negatif.

Pendapat Saya Memengenai Teori Psikologi Ericson dalam Lingkungan Sosial Belajar
Dalam tahap pembelajaran khususnya pembelajaran seorang anak yang diperoleh di sebuah bangku sekoalah dimulai dari anak saat berusia 4 atau 5 tahun, saat duduk di bangku taman kanak-kanak, hal ini termasuk ke dalam tingkatan keempat teori psikososial  Ericson tekun dan rendah diri  berlangsung selama tahun-tahun sekolah dasar. Dalam hal ini seorang anak akan antusias memkirkan hal-hal yang bersifat imajinatif. Pembelajaran pada anak-anak taman kanak-kanak dilakukan dengan metode pembelajaranyang bersifat bermain sambil belajar, anak-anak mulai dikenalkan hal-hal dasar dalam pembelajaran, seperti mewarnai,menulis,dan berhitung ataupun menghafal doa-doa dan menyayikan lagu-lagu.
Ketika anak-anak memasuki tahun sekolah dasar, mereka mengarahkan energi mereka pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.. Tahap ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan sikap rajin.
Jika anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), anak dapat mengembangkan sikap rendah diri.Sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangat penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka. Seorang guru harus memiliki kempampuan dalam membimbing siswanya, guru yang baik tentu tak akan membiarkan siswanya gagal dalam belajar, dalam kondisi seperti ini guru harus lebih ekstra perhatian dengan murid yang memiliki rasa rendah diri, sebagai seorang guru harus bisa memotivasi siswa dalam belajar, menciptakan suasana belajar yang tidak kaku.
Tahap selanjutnya dalah tahap kelima dalam klasifikasi teori psikologi Ericson yaitu Identitas dan kebingungan identitas (identity versus identity confusion). Tahap ini merupakan tahap adolesen(remaja), dimulai saat masa puber dan berakhir pada usia 12-18/anak harus mencapai tingkat identitas ego. Pada usia ini seorang anak diangpap sudah mampu memikirkan hal-hal yang bersifat mandiri, mampu untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.Dalam tahap ini lingkungan semakin luas, tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah, Pada usia ini  seorang anak akan lebih senang berinteraksi dengan teman-teman yang memiliki kesamaan karakter, misalnya saja mereka akan membuat komunitas sendiri antara satu sama lain istilahnya gank. Erikson menyebut ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik.  Dalam proses belajar pun merekan akan cenderung pilih-pilih dalam berteman, misalnya saja saat pembagian kelompok tugas oleh guru, jika dibebaskan untuk memilih maka mereka akan cenderung memilih teman-teman yang dianggap memiliki karakter yang sama.
Dalam hal ini seorang gguru harus mampu untuk menjembatani antar siswa dengan jalan guru yang memilihkan anggota kelompok belajar yaitu siswa yang memiliki tingkat prestasi yang berbeda-beda, misalnya saja  siswa pandai dengan siwa kurang pandai. Dalam interaksi  sosial belajar siswa diharapkan mampu bekerja sama sesama anggota kelompok untuk memiliki semangat dalam berkompetisi, siswa yang pandai harus dapat mengajarkan kepada teman yang kurang pandai, dengan demikian siswa diharapkan akan memiliki sikap positif yakni menghilangkan rasa keegoisan pribadi. Kesetiaan akan diperoleh sebagai nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jika keegoisan dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidak konsistennya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan kirimkan komentar anda