Kontribusi Teori Psikokologi Ericson dalam Lingkungan Sosial Belajar
Erikson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang
bertingkat/bertahapan. Ada delapan tingkatan perkembangan yang akan dilalui
oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas.
Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat
sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan
dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu
akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu
akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami
konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson
berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi
atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi
pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Dalam
teori Erikson mengklasifikasikan delapan tahap perkembangan akan dilalui oleh
orang di sepanjang rentang kehidupannya. Masing-masing tahap terdiri dari tugas
perkembangan yang dihadapi oleh individu yang mengalami krisis. Menurut
Erikson, masing-masing krisis tidak bersifat katastropik, tetapi merupakan
titik balik dari kerawanan dan penguatan potensi. Semakin sukses seseorang
mengatasi krisisnya, semakin sehat psikologi individu tersebut. Masing-masing
tahap punya sisi positif dan negatif.
Pendapat Saya Memengenai Teori
Psikologi Ericson dalam Lingkungan Sosial Belajar
Dalam tahap
pembelajaran khususnya pembelajaran seorang anak yang diperoleh di sebuah
bangku sekoalah dimulai dari anak saat berusia 4 atau 5 tahun, saat duduk di
bangku taman kanak-kanak, hal ini termasuk ke dalam tingkatan keempat teori
psikososial Ericson tekun dan rendah diri
berlangsung selama tahun-tahun sekolah dasar. Dalam hal ini seorang anak
akan antusias memkirkan hal-hal yang bersifat imajinatif. Pembelajaran pada
anak-anak taman kanak-kanak dilakukan dengan metode pembelajaranyang bersifat
bermain sambil belajar, anak-anak mulai dikenalkan hal-hal dasar dalam
pembelajaran, seperti mewarnai,menulis,dan berhitung ataupun menghafal doa-doa
dan menyayikan lagu-lagu.
Ketika anak-anak memasuki tahun sekolah
dasar, mereka mengarahkan energi mereka pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan intelektual.. Tahap ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang
pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya
usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil
dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana
rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan
tersebut anak dapat mengembangkan sikap rajin.
Jika anak tidak dapat meraih sukses karena
mereka merasa tidak mampu (inferioritas), anak dapat mengembangkan sikap
rendah diri.Sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangat penting untuk
memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia ini. Kegagalan di
bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang
cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal
ini tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka. Seorang guru harus memiliki kempampuan dalam
membimbing siswanya, guru yang baik tentu tak akan membiarkan siswanya gagal
dalam belajar, dalam kondisi seperti ini guru harus lebih ekstra perhatian
dengan murid yang memiliki rasa rendah diri, sebagai seorang guru harus bisa
memotivasi siswa dalam belajar, menciptakan suasana belajar yang tidak kaku.
Tahap selanjutnya dalah tahap kelima dalam
klasifikasi teori psikologi Ericson yaitu Identitas dan kebingungan identitas (identity versus identity confusion). Tahap ini merupakan tahap adolesen(remaja),
dimulai saat masa puber dan berakhir pada usia 12-18/anak harus mencapai
tingkat identitas ego. Pada usia ini seorang anak diangpap sudah mampu
memikirkan hal-hal yang bersifat mandiri, mampu untuk berinteraksi dengan
teman-teman sebayanya.Dalam tahap ini lingkungan semakin luas, tidak
hanya berada dalam area keluarga, sekolah, Pada usia ini seorang anak akan lebih senang berinteraksi
dengan teman-teman yang memiliki kesamaan karakter, misalnya saja mereka akan
membuat komunitas sendiri antara satu sama lain istilahnya gank. Erikson
menyebut ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam
sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang
terbaik. Dalam proses belajar pun
merekan akan cenderung pilih-pilih dalam berteman, misalnya saja saat pembagian
kelompok tugas oleh guru, jika dibebaskan untuk memilih maka mereka akan cenderung
memilih teman-teman yang dianggap memiliki karakter yang sama.
Dalam hal ini
seorang gguru harus mampu untuk menjembatani antar siswa dengan jalan guru yang
memilihkan anggota kelompok belajar yaitu siswa yang memiliki tingkat prestasi
yang berbeda-beda, misalnya saja siswa
pandai dengan siwa kurang pandai. Dalam interaksi sosial belajar siswa diharapkan mampu bekerja
sama sesama anggota kelompok untuk memiliki semangat dalam berkompetisi, siswa
yang pandai harus dapat mengajarkan kepada teman yang kurang pandai, dengan
demikian siswa diharapkan akan memiliki sikap positif yakni menghilangkan rasa
keegoisan pribadi. Kesetiaan akan diperoleh sebagai nilai positif yang dapat dipetik
dalam tahap ini, jika keegoisan dan kekacauan identitas dapat berlangsung
secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan
hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari
segala kekurangan, kelemahan, dan ketidak konsistennya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan kirimkan komentar anda